2

a different love

Aku melihatnya tanpa sengaja. Waktu itu aku sedang berada di RS Bersalin Budi Rahayu Magelang, menunggui Mbah Putri yang beberapa hari sebelumnya menjalani operasi rahim. Beberapa pengunjung sedang menengok Mbah Putri, jadi aku memutuskan untuk keluar mencari udara segar.

Di lorong rumah sakit, ketika berdiri tanpa melakukan apaapa. Dua orang perawat yang masih muda, lakilaki dan perempuan, berjalan melewatiku sambil mendorong sebuah kereta bayi. Mereka berhenti tepat di depan kamar sebelah. Salah satu di antaranya, yang lakilaki, membuka pintu dan bertanya, “Ibu Santi?”.

Setelah mendapat jawaban, si perawat perempuan mengangkat sesosok benda dari kereta bayi itu. Aku baru sadar kalau itu adalah seorang bayi –entah perempuan entah lakilaki—yang baru berumur, yah, beberapa hari. Si perawat lakilaki membukakan pintu, sementara si perawat perempuan membawanya masuk dan menyerahkan bayi itu kepada wanita yang duduk di atas ranjang. Setelah itu kedua perawat itu keluar dan berlalu.

Pintu kamar hanya terbuka sekilas ketika sang bayi dibawa masuk, namun aku sempat melihat bagian dalam kamar. Dan ketika itulah aku melihatnya.

Sesosok ibu muda, berusia 20-an, duduk di tepi ranjang. Kulitnya putih bersih, sementara rambutnya diikat ekor kuda. Dari wajahnya yang pucat nampak sisasisa kelelahan dan kesakitan yang dideritanya beberapa waktu sebelumnya. Namun ketika si bayi diangsurkan ke dalam pelukannya, raut wajahnya nampak berbeda. Semua penderitaan hidupnya sampai beberapa detik tadi seolah lenyap tanpa bekas.

Sang ibu tersenyum menyambut buah hatinya. Bukan senyuman biasa, melainkan senyuman terindah yang pernah kulihat. Seolaholah dia menerima sebentuk perhiasan yang tak ternilai harganya di alam semesta. Tatapan matanya penuh kerinduan, seolah bertemu dengan seseorang yang dinantikannya sekian lama.

Ketika si bayi telah sampai dalam pelukannya, aku seperti melihat cahaya putih bersih keluar dari kedua sosok itu. Bukan cahaya yang menyilaukan, tapi cahaya yang menyejukkan, menenangkan. Cahaya yang membuat suasana di sekitarnya terasa hangat seperti sinar mentari pagi. Mungkin ini efek dari jendela yangterbuka di samping ranjang sang ibu, namun keduanya benarbenar terlihat bersinar di mataku.

Pintu tertutup. Namun kejadian di kamar itu tak bisa hilang dari benakku. Selama beberapa saat aku berdiri mematung di lorong rumah sakit, merenungkan tentang sebentuk cinta yang rasanya lama sekali tak pernah kusadari. Sebentuk cinta yang berbeda. Cinta antara orangtua kepada anaknya. Betapa beruntungnya bayi itu, pikirku. Berada dalam pelukan ibunya, diselimuti dengan kasih sayang dan cinta yang sedemikian besarnya.

Dan tibatiba saja aku menyadari sesuatu. Selama ini aku juga mendapatkan kasih sayang dan cinta yang sama besarnya seperti bayi itu. Namun jangankan membalas cinta itu, seberapa seringkah aku benarbenar menyadari bahwa cinta itu benarbenar ada? Ya Allah…

Aku teringat dengan sebuah cerita yang pernah kubaca. Seorang pria mengadu kepada Umar bin Khattab tentang ibunya yang telah renta dan sakitsakitan. Si pria ini berkata, “Aku merawatnya dengan baik setiap hari, aku menyuapinya dengan tanganku sendiri, aku menggendongnya kemanapun dia mau pergi. Aku juga mendoakannya dalam setiap sujudku. Apakah yang kulakukan ini sudah sebanding dengan apa yang diberikannya padaku?”

Umar menjawab tegas, “Sekalikali pun tidak! Kau tak akan bisa membalas semua yang telah diberikan dan dilakukannya untukmu. Itu karena kau merawatnya sambil menunggu kematiannya, sedangkan dia dulu merawatmu sambil menunggu kehidupanmu.”

Ya Allah. Tibatiba aku merasa sebagai Malin Kundang. Ibu, maafkan aku…

2

maryamah karpov

Beberapa hari lalu saya baru saja selesai membaca novel Maryamah Karpov, buku terakhir dari tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Dan jujur, perasaan saya seperti seperti anak kecil yang tak bisa tidur berharihari karena memimpikan mobil remote control sebagai hadiah ulangtahun,, namun di hari istimewa itu ternyata hanya mendapatkan sebuah mobilmobilan dari kulit jeruk bali.

Kecewa.

Oke, mungkin saya terlalu overestimate dengan novel ini. Tapi dengan novel pertama Laskar Pelangi yang disebutsebut sebagai Indonesia’s Most Powerfull Book, filmnya jadi box office dengan 1,3 juta penonton (bener ga?), Sang Pemimpi yang National Best Seller, Edensor yang National Best Seller plus Nominator Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007,, harapan yang sama otomatis tertuju pada Maryamah Karpov.

Ada beberapa hal yang membuat saya agak kecewa dengan novel ini. Awalnya, ketika tau novel keempat akan berjudul Maryamah Karpov, saya menyangka novel ini akan bercerita tentang Bu Maryamah, kerabat Ikal dan Arai, dan Nurmi, sang gadis kecil pemain biola. Ini sesuai dengan cover Maryamah Karpov yang (dari dulu diiklankan) bergambar seorang wanita sedang memainkan biola. Dalam Sang Pemimpi Bu Maryamah dan Nurmi dikisahkan sebagai ibu dan anak dari keluarga miskin yang sering meminjam beras pada keluarga Ikal. Saya kira novel ini akan bercerita tentang mereka, atau tentang Nurmi yang berusaha meraih citacitanya menjadi pemain biola.

Namun dalam Maryamah Karpov Nurmi hanya muncul sebagai pemain biola pada Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi di Belitong. Ikal beberapa kali belajar bermain biola pada Nurmi untuk memainkan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Bu Maryamah malah tak sekalipun ‘bicara’. Hanya dikisahkan ia mendapatkan nama (julukan) Karpov dari orangorang kampung karena pandai bermain catur dengan strategi Karpov.

Beberapa hari sebelum launching buku ini, saya baru tau kalau ada tambahan subjudul di atas tulisan Maryamah Karpov yaitu Mimpi-mimpi Lintang. Saya sudah bersorak gembira. Janganjangan buku ini menceritakan tentang usaha Lintang meraih citacita setelah putus sekolah di SD Muhammadiyah Gantong. Anak jenius yang malang itu kan sudah tak pernah nongol sejak Laskar Pelangi. Eh di Maryamah Karpov Lintang malah dikisahkan sudah sukses menjadi petani kopra, bahkan memiliki beberapa perahu untuk mengangkut hasil panennya. Kecerdasan Lintang hanya ditunjukkan ketika membantu Ikal membuat perahu untuk berlayar mencari A Ling.

Soal cerita juga menurut saya terlalu dibuatbuat dan dipanjangpanjangkan. Ikal yang hampir menyelesaikan studinya harus menjalani sidang ujian tesis pada pukul 9 malam, di bulan Ramadhan di mana matahari Perancis masih bersinar dengan teriknya, plus dia lupa bangun untuk makan sahur. Alhasil dia mesti menunggu giliran ujian dengan berdebardebar, mata berkunangkunang, pusing karena kebanyakan belajar, plus rasa lapar dan dehidrasi. Ditambah lagi temanteman seangkatannya yang ujian sebelum dirinya, mendapat nilai buruk dan mesti memperbaiki tesisnya –termasuk Ninochka Stronovsky dan Naomi Stansfield. Arian Gonzales malah mesti mengulang seluruh tesisnya. Sebagai salah satu dari The Pathetic Four, tentu saja Ikal grogi setengah mati.

Tentu saja hasilnya sudah bisa ditebak. Baca saja biografi pengarangnya, tak perlu repotrepot membaca bukunya. Ikal –dengan ajaibnya– lulus. Tuhan menolong orang yang berpuasa!, begitu teriaknya dalam hati.

Setelah lulus, Ikal kembali ke Belitong. Dan di sinilah sebagian besar novel ini berlatar. Dia bertemu dengan anggota Laskar Pelangi yang lain, termasuk Mahar yang sudah menjadi dukun muda, juga yang lainlain (Flo, Samson, Sahara, Kucai, A Kiong, Trapani, Syahdan, Harun) yang ratarata telah menikah dan berkeluarga. Namun Maryamah Karpov tidak menyoroti mereka lebih jauh, malah lebih membahas orangorang di kampung Ikal yang masih suka menggunjing, hobi bertaruh, dan suka menyebut oranglain dengan julukanjulukan aneh. Misalnya Berahim Harap Tenang (juru pancar rol yang selalu memasang tulisan HARAP TENANG tiap ganti rol), Rustam Simpan Pinjam (karena bekerja di koperasi), atau Marhaban Hormat Grak (biasa jadi komandan upacara 17-an). Julukanjulukan ini didapat dari kebiasaan, pekerjaan, atau kejadian yang dialami orang bersangkutan, dan bisa dibawa sampai mati. Alm. Marhaban misalnya, di nisannya tetap tertulis Marhaban Hormat Grak.

Porsi terbesar dalam novel ini menceritakan akhir perjalanan Ikal dalam mencari A Ling. A Ling ternyata berada di sebuah pulau di tengah Selat Malaka bernama Batuan yang dikuasai oleh para lanun (bajak laut, red). Untuk itu Ikal berusaha keras membuat perahu agar bisa pergi kesana menjemput A Ling. Bagian ini dipenuhi dengan keraguraguan Ikal dengan kemampuannya membuat perahu, juga ejekan dan cemoohan orangorang kampung yang menganggap hal ini sebagai suatu kesiasiaan. Hingga setelah tujuh bulan bekerja keras membuat perahu (dengan bantuan Lintang sebagai desainernya), akhirnya Ikal bisa berangkat juga. Singkat cerita A Ling ditemukan, dibawa pulang, dan ikal kembalimenemukan tambatan hatinya.

Tuh, aneh kan? A Ling yang dalam Edensor dicaricari Ikal bahkan sampe Eropa dan Afrika, ternyata cuma ada di deketdeket sini (kemane aje luh, Ling??).

Secara garis besar, Maryamah Karpov mengajarkan tentang bagaimana berusaha keras mengejar mimpi, tapi dalam hal cinta, bukan lagi pendidikan seperti tiga buku pertama. Di buku ini juga banyak dijelaskan tentang bagaimana karakteristik orang Melayu pulau. Baik lewat sosok Ikal, sahabatsahabatnya, orangorang kampung, hingga kebiasaankebiasaan mereka. Ini yang menyebabkan jalan ceritanya –yang hanya tentang usaha Ikal membuat perahu dan mencari A Ling– agak melebar.

Tapi mau gimana lagi. Andrea Hirata sendiri pernah bilang, dia mendapat ide untuk menjadikan Laskar Pelangi sebagai tetralogi justru setelah novel pertamanya meledak. Padahal awalnya kan Laskar Pelangi diniatkan sebagai memoar untuk temanteman SD-nya, bukan untuk diterbitkan. Apalagi setelah tiga novel pertama mendapat sambutan antusias dan penghargaan tinggi. Terlihat jelas bahwa novel ini “ditulis oleh Ikal yang sudah terkenal, bukan oleh Ikal yang udik dan kampungan”. Tidak seperti tiga buku pertama, di buku ini tak ada pujian atau sanjungan dari sastrawan, penulis, tokoh pendidikan, atau media terkemuka. Di sampul belakang halaman dalam hanya ada tulisan berjudul Tetralogi Laskar Pelangi di Mata Saya, yang ditulis oleh Gangsar Sukrisno, CEO Bentang Pustaka dan co-producer film Laskar Pelangi. Di situ tertera kalimat “…oleh karena itu, tetralogi Laskar Pelangi merupakan koleksi yang amat berharga untuk dimiliki…”. Iyah, berharga banget buat dimiliki. Soalnya harganya dah Rp 79.000,-, kertasnya HVS, 504 halaman lagi.

Hmm,, bau kapitalisnya kerasa banget yak?

Satu hal lagi. A Ling di akhir cerita meminta Ikal untuk “mencuri dirinya dari pamannya”. Ini merupakan istilah orangorang Ho Pho untuk menyatakan bahwa dirinya bersedia dipinang. Namun ketika Ikal meminta persetujuan ayahnya, sang ayah yang konon tak pernah berkata ‘tidak’ pada Ikal itu, justru memberikan jawaban yang sungguh di luar dugaan: tidak. Dan Ikal bertekad untuk tetap menikahi A Ling, melarikannya, dan membawanya ke Singapura.

Saya bukannya pecinta novel happy ending. Namun dengan karya yang awalnya diniatkan sebagai memoar, kemudian diterbitkan jadi novel, kemudian jadi tetralogi, kok rasanya endingnya terlalu nggantung. Janganjangan mau dibikin lagi lanjutannya novel ke-5?

Cerita yang paling saya suka adalah cerita pertama yang mengisahkan ayah Ikal yang mendapat surat pemberitahuan kenaikan jabatan dari PN Timah. Ini merupakan suatu anugerah bagi keluarga Ikal, karena ayahnya tak pernah bersekolah. Pada hari pengangkatan jabatan dan penerimaan rapelan gaji, Ikal dan keluarganya datang ke lapangan PN Timah –lengkap dengan baju safari berkantong empat yang istimewa itu– dan berbaris di lapangan menunggu giliran dipanggil. Tapi hingga selesai nama ayah Ikal tak pernah disebut. Akhirnya mereka pulang dengan hati hancur. Malamnya, mandor datang ke rumah Ikal, menjelaskan bahwa ada kesalahan kecil, repot sekali mengurutkan namanama orang Melayu yang berawalan ‘S’, dan menerangkan bahwa pegawai yang tidak berpendidikan tidak akan mendapatkan kenaikan pangkat. Cerita yang terasa Laskar Pelangi banget.

Btw, bagi yang sudah menonton film Laskar Pelangi, siapsiap ‘ketemu’ Lukman Sardi, Mathias Muchus dan Rieke Diah Pitaloka dalam buku ini. Mereka memang tidak hadir dalam jalan cerita secara langsung, namun tiap kali kita membaca tentang Ikal, orangtuanya dan orang-orang lainnya, sosok mereka lah yang tervisualisasikan dalam benak kita. Selamat kepada film Laskar Pelangi yang telah sukses ‘mengganggu’ imajinasi para pembacanya.