2

Obama and his dreams

Senin (22/03) malam saya nonton wawancara eksklusif Putra Nababan, reporter RCTI dengan Presiden Barack Obama di White House. Putra bertanya tentang macam-macam hal terkait hubungan antara Indonesia-AS. Tak lupa dibahas adalah tertundanya kunjungan Obama ke Indonesia, serta pengalaman-pengalaman dari masa kecil Obama. Nah, salah satu pertanyaan Putra adalah apakah benar ketika kecil Obama bercita-cita menjadi Presiden. Jawaban Obama adalah (terjemahan):

“Itu tidak benar. Saya ingat ada guru saya yang mengatakan bahwa ketika berumur 6 tahun saya ingin menjadi Presiden. Tetapi seingat saya, ketika saya berumur 6 tahun saya hanya ingin menjadi seorang pemadam kebakaran.”

Saya melongo. Terus ngakak.

Ya ampuuun… Padahal di Indonesia sendiri sudah sering digembor-gemborkan bahwa Obama sejak kecil sudah bercita-cita menjadi Presiden. Dia dijadikan contoh bagi anak-anak di Indonesia –khususnya di SD Menteng—bahwa jika kita bercita-cita menjadi Presiden, kita benar-benar bisa menjadi Presiden –walaupun tidak di Amerika. Bahkan patung Obama kecil yang sekarang dipindahkan ke halaman SD Menteng pun bertuliskan:

“The future belongs to those who believe in the power of their dreams.”

Eh lhadalah, kok ternyata Obama kecil dulunya bercita-cita jadi pemadam kebakaran. ‘Cuma’ pemadam kebakaran.

Tapi saya lalu ingat artikel wawancara penulis Andrea Hirata dengan penggemarnya yang dimuat di Kompas beberapa waktu lalu. Salah seorang pembaca (lagi-lagi) bertanya pada Andrea, apakah novel Laskar Pelangi diangkat dari kisah hidup Andrea? Apakah tokoh Lintang, Mahar, dan Arai benar-benar nyata? Dan Andrea menjawab dengan bijak:

“Maya (nama penggemar itu-Red), yang terpenting bukanlah apakah kisah itu nyata atau tidak, apakah mereka benar-benar ada atau tidak. Yang terpenting adalah, apakah kisah itu bisa membuat Anda tergugah dan sadar, bahwa kita bisa meraih apapun yang kita cita-citakan.”

Begitulah.

0

Phoenix

Pertama saya minta maaf karena sudah sekian lama tidak membuat postingan baru di hopesandfears ini. Tulisan terakhir saya naik cetak sekitar delapan bulan yang lalu, dan itupun masih terkait soal skripsi. Delapan bulan tak bersua, dan begitu banyak hal yang terjadi selama masa itu. Hal-hal yang sangat-sangat fear dan sangat-sangat hope.

Tapi akan saya awali dulu tulisan ini dengan kalimat:

Assalamualaikum.

Kenapa saya menghilang selama delapan bulan, rasanya itu tak perlu saya ceritakan di sini. Terlalu sakit, terlalu shock, terlalu –bodoh. Biar saya saja –dan beberapa orang teman yang telanjur tahu—yang tahu.

Lalu soal judul tulisan ini. Phoenix. Kenapa phoenix?

Setahu saya, phoenix adalah seekor burung mitologi yang ada di beberapa kebudayaan kuno di dunia. Yang namanya mitologi, tentu saja diragukan apakah dia pernah benar-benar ada atau tidak. Sama halnya seperti toothfairy, santa, ogre, leprechaun, atau werewolf.

Tapi phoenix ini memiliki satu keunikan yang tidak dimiliki oleh makhluk mitologi lainnya. Phoenix tak bisa mati. Ketika menjelang ajalnya, phoenix akan terbakar dan berubah menjadi abu. Dari abunya itulah dia bangkit, muda lagi, hidup lagi, sampai ketika kematian datang dia akan kembali menjadi abu lagi. Begitu seterusnya.

Mati. Menjadi abu. Bangkit kembali. Hidup lagi.

Saya menyinggung tentang phoenix dalam tulisan ini karena mungkin phoenix-lah analogi yang tepat untuk merangkum semua hal yang terjadi pada saya selama delapan bulan terakhir. Beberapa masalah yang berawal dari kebodohan, kemudian berubah menjadi bencana yang masif, sampai saya merasa ‘habis’. Bagai abu. Dan apalagi yang bisa diharapkan dari seonggok abu?

Saya memang bukan phoenix. Tapi ketika saya mulai menyadari bahwa tak ada lagi yang bisa disesali, tak ada lagi yang perlu diratapi, dan tak ada luka yang tak sembuh selamanya, saya teringat dengan phoenix. Mungkin justru dari abu-lah kita bisa lahir kembali. Mungkin ketika semua impian musnah, ketika semua harapan hancur, setelah segalanya lenyap tak tersisa-lah kita bisa bangkit untuk menjalani kehidupan yang baru.

Mati. Menjadi abu. Bangkit kembali. Hidup lagi.

Phoenix.